5 Masalah umum keuangan keluarga dan cara mengatasinya
Sumber : www.google.com
Merdeka.com - Istilah kelas menengah sering didefinisikan sebagai golongan mampu. Hanya saja, mereka masih mungkin mengalami penurunan status sosial dan finansial.
Mereka yang termasuk dalam kelas menengah tidak kaya, tidak juga miskin, tapi berada di tengah-tengah. Istilah ini juga dipakai untuk mendeskripsikan karakter dan angka penghasilan yang wajar. Kelas menengah tidak hidup dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Kehidupan primer dan sekunder mereka telah terpenuhi dan mereka punya akses ke beberapa kebutuhan tersier.
Menurut Wakil Direktur Dewan Ekonomi Nasional Amerika Diana Farrell, seseorang dikatakan kelas menengah ketika sepertiga pendapatan yang tersisa digunakan untuk kebutuhan sekunder dan tersier setelah kebutuhan primer terpenuhi.
Namun kini, kebutuhan sekunder terasa semakin sulit dijangkau. Kebutuhan primer seperti perumahan pun juga tak bisa didapat. Tak jarang mereka yang sebenarnya termasuk ke dalam kelas menengah mengalami rangkaian kesulitan finansial.
Berikut 5 masalah keuangan yang sering dihadapi para keluarga kelas menengah seperti dilansir cekaja.com:
1. Merasa belum mampu beli rumah
Gaji lebih dari cukup, pekerjaan pun terbilang mapan. Tapi membeli rumah masih jadi perkara sulit bagi kebanyakan kelas menengah.
Para kelas menengah yang tinggal di kota besar tentunya ingin punya rumah dekat dengan kantor dan fasilitas umum lainnya. Tapi harga rumah di pusat kota tidaklah murah.
Harga hunian bahkan bisa melonjak hingga 300 persen dalam 10 tahun ke depan. Wilayah-wilayah yang dulu tidak di lirik kini menjadi mahal setelah pemekaran dan dibukanya akses transportasi.
Daripada tidak kunjung punya rumah, kelas menengah sebaiknya mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang artinya harus menyisihkan gaji paling sedikit 30 persen untuk membayar cicilan rumah.
2. Tak ada dana untuk liburan
Liburan, baik itu ke luar negeri maupun hanya keluar kota tetap membutuhkan biaya. Biasanya kelas menengah harus mengorbankan suatu hal untuk mendapatkan kesempatan berlibur.
Jika mengacu pada data di Amerika tahun 2014 lalu, sebanyak 54 persen responden rela tidak membeli barang-barang seperti TV atau elektronik demi bisa berlibur. Pengorbanan lainnya adalah mengurangi intensitas ke bioskop (47 persen), makan di restoran (43 persen), dan menahan diri untuk tidak membeli baju baru (43 persen).
Selain itu, iklim kerja yang kompetitif membuat karyawan memilih tidak mengambil cuti mereka. Mereka berpikir cuti dan liburan justru menguras tabungan sehingga mereka lebih memilih masuk kerja.
Alasan lain tidak berlibur adalah karena 40 persen dari pekerja di Amerika tidak ingin menghadapi tumpukan pekerjaan setelah selesai berlibur. Padahal, penelitian justru menunjukkan jika liburan dapat meningkatkan produktivitas dan kesehatan.
3. Tak ada dana asuransi
Kesehatan adalah kebutuhan primer. Namun data yang dirilis Forbes menunjukkan jika pekerja di berbagai perusahaan besar di mana kebanyakan dari mereka merupakan kelas menengah hanya mengandalkan asuransi kesehatan dari kantor.
Alasannya karena asuransi pribadi terlalu mahal dan bukan kebutuhan mendesak selama biaya asuransi masih di tanggung oleh kantor. Akibatnya ketika kelas menengah menderita penyakit serius, keuangan mengalami guncangan.
Maka dari itu, menyisihkan dana untuk asuransi kesehatan tetap patut diperjuangkan.
4.Tak mampu bayar perawat anak
Membesarkan anak di era milenium tidak bisa dibilang murah. Kehadiran anak berarti membutuhkan ruangan tambahan yang artinya harus merenovasi rumah. Belum lagi baju yang harus dibeli setiap dua bulan sekali (karena bayi cepat tumbuh besar), popok, susu, mainan, serta kesehatan.
Setiap orang tua juga pasti ingin mengupayakan pendidikan yang terbaik untuk anak. Untuk mendapatkan yang terbaik, anak pun dimasukkan ke sekolah tertentu bahkan sejak balita. Tidak jarang biaya masuk TK zaman sekarang sama dengan biaya pangkal masuk kuliah jalur SNMPTN atau sekitar Rp 6 juta.
5. Bioskop terasa sangat mahal
Nonton film favorit dengan layar lebar dan sound sistem mendukung pasti menyenangkan. Namun tiket bioskop semakin mahal setiap tahunnya.
Jika setiap nonton di akhir pekan harus merogoh kocek Rp 50.000 ditambah makan siang Rp 50.000, sedangkan gaji yang diterima sehari yakni Rp 200.000, itu artinya kelas menengah harus menyisihkan 10 persen dari gaji untuk nonton seminggu sekali.
Belum lagi jika pergi ke bioskop sekeluarga. Biaya nonton ke bioskop bisa sama mahalnya dengan mengajak anak-anak ke taman bermain.
Sumber : www.merdeka.com